Pendidikan Di Indonesia Termahal Di
Dunia - Seyogyanya, adalah kewajiban
negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga
negaranya, termasuk warga negara yang lemah mental, difabel ataupun
berkebutuhan khusus. Namun di negeri yang memiliki kekayaan dan sumber daya
alam sangat melimpah ini, pendidikan adalah barang mahal bahkan termasuk yang
termahal di dunia. Pendidikan berkualitas apalagi cuma-cuma, masih sebatas
mimpi bagi sebagian besar anak Indonesia.
Lebih ironis karena pendidikan
berkualitas di Indonesia telah menjadi komoditi. Pendidikan telah menjadi ajang
bisnis yang sangat menggiurkan. Warta
Berita Terbaru mencatat Banyak sekolah menawarkan metode
pendidikan terbaik, sarana lengkap dengan tenaga pengajar berkualitas, tentu saja
dengan harga yang sangat membelalakkan mata. Hanya kalangan berpunya atau the
have yang bisa menikmatinya. Sementara sejumlah besar anak Indonesia dari
kalangan the have not, hanya bisa menikmati pendidikan dengan sarana dan
prasarana apa adanya, berbagi guru dengan kelas lain bahkan dengan kondisi
gedung atau ruang sekolah yang hampir rubuh.
Jumlah anak putus sekolah dan
berpendidikan rendah di Indonesia juga masih tinggi. Dari Februari 2006 hingga
Agustus 2007, tercatat penduduk yang berpendidikan SD dan tidak tamat SD
meningkat dari 17,57% menjadi 18,52%. Bahkan, pada tahun 2009 lalu diperkirakan
sekitar 12 juta anak Indonesia putus sekolah. Tak kalah ironis, jutaan anak
juga masih mengalami gizi buruk. Bagaimana mau pintar dan memiliki daya saing tinggi
jika kebutuhan yang lebih mendasar yakni sehat, tidak terpenuhi dengan baik.
Pendidikan anak usia dini (PAUD)
juga tak kalah memprihatinkan. Menurut data Departeman Pendidikan Nasional,
jumlah anak usia 0-6 tahun pada 2009 diprediksi sebanyak 28,377 juta orang.
Dari jumlah tersebut, baru 25% yang bisa berpartisipasi dalam PAUD. Itupun
tidak merata baik secara geografis maupun sosial ekonomi. Alhasil, partisipasi
PAUD di Indonesia tergolong paling rendah se-Asia Tenggara. Ini bisa jadi
sebuah jawaban mengapa SDM kita rendah, karena fondasi pendidikan kita selama
ini tidak kuat. Six is too late.
Jika anak-anak sekolah di India
sudah bisa menikmati program OLPC, perbandingan antara komputer dan siswa yang
menggunakannya pada tahun 2008 di Indonesia adalah 1:3.000 siswa, padahal angka
yang ideal adalah 1:20. Dengan fasilitas minim seperti ini, wajar saja jika
banyak generasi muda kita yang gaptek (gagap teknologi). Pada jenjang
pendidikan tinggi, keadaannya juga tak lebih baik. Banyak lulusan perguruan
tinggi kita yang menjadi pengangguran. Jumlahnya terus meningkat dari waktu ke
waktu.
Pertanyaannya kemudian, apa yang
salah dengan pendidikan di negara kita? Bukankah kekayaan dan sumber daya alam
kita sangat melimpah yang seharusnya dengan itu negara sangat mampu untuk
menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan cuma-cuma untuk semua warga negara?
Apakah kualitas pendidikan kita kalah bersaing sehingga
banyak lulusannya tidak bisa diserap oleh lapangan kerja yang ada? Apakah
sistem pendidikan kmboja dengan skor 9,10 dan diikuti Vietnam dan Filipina.
Dengan kondisi seperti itu, belum
adanya goodwill yang konkrit dan anggaran yang memadai, sangat wajar jika
kualitas pendidikan kita sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak tak bisa
sekolah karena biaya pendidikan yang terus melambung (biaya pendidikan di
Indonesia termasuk yang termahal di dunia); sarana dan prasarana pendidikan apa
adanya dan kualitas guru yang kurang memadai karena di negeri kita profesi guru
masih dipandang sebelah mata. Mereka yang masuk Ilmu Pendidikan biasanya adalah
“sisa” yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit. Salah satu sebabnya karena
gaji guru yang jauh dari cukup sehingga selain mengajar, para guru harus kerja
serabutan lain untuk menopang kehidupannya. Ada yang menjadi tukang ojek,
tukang parkir bahkan pemulung.
Dengan kondisi seperti ini, sangat
sulit untuk mengharapkan para guru akan totalitas dalam menjalankan tugas
mulianya sebagai pendidik generasi muda. Pada akhirnya akan berpengaruh pada
kualitas anak didik dan daya saing mereka sebagai aset bangsa. Jika ini terus
dibiarkan, kita akan semakin tertinggal. Bisa-bisa kita menjadi tamu di negara
sendiri karena SDM handal dari luar negeri akan mengambil alih posisi-posisi
strategis di negeri kita. Itulah hukum persaingan di era global saat ini :
siapa yang memiliki daya saing tinggi, dia yang akan menguasai dunia.